Senin, 01 Juli 2013

kesadaran mengabdi pada negara

Membuat sumbangan tulisan untuk mengenang mendiang Doctor Johannes Leimena berarti menggambarkan seorang tokoh nasional yang mengerjakan tiap tugas negara atau tugas masyarakat yang diwajibkan kepadanya senantiasa dengan kesungguhan hati. Mungkin kesungguhan hati itu memang tabiat dirinya, tapi mungkin pula hasil latihan mendalam yang diperolehnya, karena seringnya menduduki jabatan-jabatan penting, hingga mempunyai pandangan menyeluruh tentang kesukaran-kesukaran besar yang dihadapi negara dan rakyatnya. Indonesia terpaksa mengambil jalan revolusi dalam mengadapi keinginan Belanda untuk menjajah kembali. Memang tidak ada pilihan lain terhadap negara penjajah itu, daripada Proklamasi Kemerdekaan dan berjuang untuk mempertahankannya. Tentang keputusan bangsa itu kita tidak pernah menyesal. Tapi sebaliknya kita harus mengakui, bahwa jalan ini membawa banyak sekali peristiwa-peristiwa yang ruwet dan sulit, baik selama revolusi maupun setelah pengakuan kedaulatan. Kita membutuhkan sekali tokoh-tokoh nasional yang berkesadaran mengabdi Negara dan rakyat untuk menyelesaikan peristiwa-peristiwa yang banyak itu.
Almarhum Doctor Johannes Leimena adalah tokoh nasional yang patut diperingati, karena marhum, dengan lain-lain nama yang terkenal seperti Latuharhary dan Putuhena, sejak sebelum revolusi termasuk golongan yang menanam kesadaran yang kuat akan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia, mula-mula melalui kalangan cendekiawannya, selanjutnya merata sampai rakyatnya di seluruh Maluku.
Tapi sifat dan jalannya revolusi Indonesia menumbuhkan keadaan yang berbeda-beda di wilayahnya yang sangat luas itu. Macam-macam faktor dapat menimbulkan situasi yang macam-macam pula, hingga muncul peristiwa-peristiwa yang ruwet dan pelik. Komunikasi antara Jawa dan luar Jawa sukar, dan ini diexploitir oleh Belanda dalam membentuk Negara Bagian Indonesia Timur. Dalam waktu peralihan sesudah pengakuan kedaulatan Republik berdasarkan konperensi Meja Bundar muncul separatisme di daerah yang sangat terbatas dalam bentuk Republik Maluku Selatan.
Almarhum Dr. Leimena dikirim ke Maluku untuk menyelesaikan peristiwa RMS ini.
Pada waktu itu marhum dan penulis bersama duduk dalam satu kabinet, kabinet RIS di bawah pimpinan Bung Hatta. Marhum sebagai Menteri Kesehatan, penulis sebagai Menteri Perburuhan. Jika usaha penyelesaian dengan damai tidak berhasil, hal ini pasti bukan karena marhum tidak mencurahkan sepenuhnya tenaga dan pikirannya. Penyelesaiannya terpaksa dijalankan dengan kekerasan. Gerakan separatis ini hanya mendapat akar di satu pulau, karena salah paham dan ulah beberapa oknum pimpinan militer Belanda dan dari daerah sendiri.
Seluruh daerah Indonesia Timur menggabung menjadi Negara Kesatuan, Republik Indonesia Kesatuan, bersama Negara-negara Bagian buatan Belanda lainnya. Republik Indonesia Kesatuan yang mengganti Negara RIS ini dinyatakan berdiri pada 17 Agustus 1950. Dengan demikian dari Negara Bagian dan Daerah Istimewa bentukan Belanda yang merupakan masalah hanya yang menamakan diri negara RMS saja.
Pemberontakan ini dapat ditumpas dalam waktu yang tidak lama, tapi peristiwa ini mempunyai akibat-akibat yang berkepanjangan. Tidak saja, karena “Presiden”-nya tidak terus ditangkap, tapi juga, karena RMS sebagai gerakan di negeri Belanda berulang kali menimbulkan keonaran, setelah “Presiden”-nya itu tertangkap dan menjalani keputusan Hakim di Indonesia. Nampaknya Pemerintah Belanda terlalu lama membiarkan kegiatan RMS ini, dan pasti juga  di sana ada badan dan golongan yang membantunya. Kita percaya, bahwa setelah peristiwa RMS tidak dapat diselesaikan melalui perundingan, pemberontakan yang berdiri sendiri, setelah Negara Bagian Indonesia Timur setuju bersatu dalam Republik Kesatuan, harus ditumpas dan pasti dapat ditumpas olehTNI. Tapi umumnya orang tidak mengira, bahwa akan ada kelanjutannya berupa gerakan di negeri Belanda. Sebenarnya marhum Dr. Leimena dalam suatu Sidang Kabinet, masih di zaman RIS, telah mengingatkan kepada kita, bahwa persoalan RMS akan mempunyai ekor yang panjang. Dengan suara yang tenang dan ramah marhum berkata dalam bahasa Belanda :
“Dit muisje zal nog een staartje hebben.”
Barangkalli karena sering harus menjalankan tugas-tugas Negara yang penting, maka marhum menjadi seorang perasa, yang, karena terus-menerus memikirkan masalahnya, mempunyai penglihatan yang tajam jauh ke depan. Sampai waktu-waktu terakhir, ketika datang di negeri Belanda, mendiang masih dengan kesungguhan hati bersedia melibatkan diri dalam usaha menyerasikan masalah pengikut-pengikut republik khayalan ini. Demikian rasa tanggungjawabnya terhadap soal kesatuan dan persatuan bangsa.
Jika penulis di sini mencoba menggambarkan kesungguhan hatinya terhadap kepentingan Negara dan rakyatnya, maksudnya bukan memberi kesan, bahwa marhum adalah orang yang bermuka suram. Sebaliknya, dalam pertemuan biasa, kesan yang kita peroleh dari padanya, ialah seorang peramah. Dalam pertemuan biasa marhum dengan ramah-tamah bicara tentang keadaan keluarga, bercakap-cakap dengan santai dan menenangkan, kalau ada yang bicara tentang keadaan keluarga, bercakap-cakap dengan santai dan menenangkan, kalau ada yang bicara tentang adanya keresahan, malahan bersedia untuk bergurau.
Di atas telah dikatakan, bahwa Indonesia, yang untuk mencapai kemerdekaan terpaksa melalui jalan revolusi fisik, sebagai akibatnya menghadapi lebih banyak macam-macam peristiwa setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda, dibandingkan dengan India atau Malaysia, yang begitu saja memperoleh kemerdekaan. Tapi kita memang tidak pernah merasa menyesal tentang pilihan jalan itu, karena tidak ada alternatif lain. Belanda tidak akan memberi kemerdekaan begitu saja kepada Indonesia, karena mereka sebagai negara penjajah tidak dapat disamakan dengan Inggris di bawah PM Attlee. Mereka mempunyai proyek yang ortodox, seperti telah nampak sepanjang jalannya revolusi fisik yang hampir lima tahun itu. Penulis sering membicarakan hal itu dengan marhum Leimena, sebab Kabinet RIS bukan buat pertama kali merupakan kesempatan kerjasama. Sebelum itu penulis pernah kerjasama dalam satu kabinet dengan marhum, yaitu dalam kabinet Amir Sjarifuddin. Situasinya pada waktu itu lebih suram, dan juga lebih seram. Suram, karena  sekalipun sudah ada perjanjian Linggarjati, tentang pelaksanaannya ada perbedaan paham. Seram, karena Belanda hendak mendesakkan penafsirannya sendiri dan kalau Republik tidak sedia menerimanya, hal itu akan berarti perang. Memang kita menghadapi bahaya pertama, yang Belanda menamakannya “politionele actie”.
Setelah Kabinet Sjahrir ke-III jatuh, dibentuk Kabinet baru di bawah pimpinan Amir Sjarifoeddin. Marhum Dr. Leimena menjadi Menteri Kesehatan, penulis Menteri Muda Perburuhan. Kabinet Sjahrir jatuh karena Sayap Kiri, pendukung utama kabinet tersebut pecah. Sebagian tidak dapat menerima kebijaksanaan Sjahrir, yang dianggap terlalu jauh memberi konsesi kepada pihak Belanda.
Sebenarnya memang ada selisih antara Belanda dan kita tentang penafsiran beberapa kata dalam perjanjian Linggarjati, hingga timbul tuduh-menuduh dalam pelaksanaan. Mendadak Belanda mengirim surat yang menetapkan sepihak penafsiran mereka yang harus diterima oleh Republik. Kalau tidak diterima, berarti perang. Menurut konsepsi Belanda, sebelum penyerahan kedaulatan kepada suatu Negera Federal, Belanda yang melakukan pemerintahan sementara. Meskipun perjanjian jelas menganggap Belanda dan Republik sebagai dua pihak dalam perjanjian, pembentukan negara-negara bagian dilakukan dengan pimpinan Belanda saja, dan Republik harus membantu. Kata “cooperation” tidak diartikan, bahwa Belanda dan Republik dua-duanya menjadi sponsor dalam membentuk negara-negara bagian lainnya. Kalau Sjahrir menerima semua ini, rasanya koneksi yang diberikan memang amat banyak. Tapi sebenarnya yang keterlaluan sikap Belanda. Memang ada perbedaan penafsiran tentang beberapa kata dalam perjanjian. Hal itu sudah diketahui umum, diketahui KNIP, diketahui parlemen Belanda.
Mestinya ada sikap yang lebih sabar, lebih luwes. Tapi 25 Maret 1947 perjanjian ditandatangani, 27 Mei 1947 ultimatum: Kapitulasi atau perang.
Dalam sidang pertama Kabinet Amir, yang terbentuk pada 3 Juli 1947, Perdana Menteri memberi penjelasan tentang keadaan Negara yang sangat genting itu. Sekaligus diberitahukan, bahwa Pemerintah telah mengutus Wakil Perdana Menteri Setiadjit untuk berunding dengan Van Mook. Sebagian besar dari anggota Kabinet sebenarnya sudah mengetahui pokok-pokok kedudukan perkaranya. Maka dari itu banyak yang tidak mengerti, apa perlunya mengirim utusan Kabinet ke Jakarta. Marhum Ali Sastroamidjojo yang kedudukannya Menteri P & K juga menanyakan dalam Sidang itu, apa yang akan dirundingkan dengan Belanda, kalau sikap mereka sudah terang-terang ultimatif. PM menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan, bahwa masih ada kemungkinan-kemungkinan yang perlu dijajaki, dan untuk memperlihatkan kemauan baik kita. Sementara itu diusahakan mendapat hubungan telepon dengan Jakarta. Akhirnya kita dapat jawaban dari Setiadjit, bahwa Belanda tetap pada pendirian-pendiriannya, malahan menganjurkan supaya kita menerima saja usul-usulnya yang tidak dapat ditawar lagi itu.
Marhum Dr. Leimena yang juga duduk dalam Kabinet Sjahrir sudah barang tentu lebih mengetahui secara mendalam pertentangan Indonesia – Belanda yang menggenting itu, tapi dalam Sidang tidak mengeluarkan suara. Tapi ini bukan berarti, bahwa penulis tidak sempat banyak bertukar pikiran dengan marhum tentang latar belakang perkembangannya. Kita umumnya bertanya-tanya bagaimana mungkin Belanda hanya dua bulan sesudah perjanjian Linggarjati ditandatangani secara resmi, mendadak sikapnya begitu garang. Harus diakui, bahwa kedudukannya memang cukup kuat.
Daerah Indonesia yang diduduki atau dipengaruhi cukup luas. Tentaranya berangsur-angsur tapi cepat diperkuat, senjatanya bertambah banyak dan alat transpor militer berlipat ganda. Semua pelabuhan berlaut dalam (deep sea) dikuasai, hingga dapat mengadakan blokade ekonomis lebih rapat. Berdasarkan kemajuan-kemajuan ini, barangkali mereka berpendapat, bahwa mereka dapat mematahkan perlawanan Republik dalam waktu singkat. Tapi hanya dengan perhitungan itu saja, mereka mustahil merobah sikapnya menjadi begitu keras.
“Itulah yang menjadi pikiran”, kata marhum Leimena dalam suatu pertemuan. Kelihatannya Van Mook sebelumnya sudah menemui Jendral Marshall di Amerika. Yang menjadi pembicaraan sebenarnya berpangkal pada bantuan Amerika kepada Negara Belanda, yang sudah direncanakan. Karena sebagian dari bantuan disediakan untuk kepentingan Indonesia, dengan sendirinya pembicaraan juga menyinggung soal penyelesaian Indonesia. Nampak Amerika menyetujui program Belanda untuk memberikan kedaulatan de jure kepada Belanda dalam masa peralihan sebelum kedaulatan diserahkan kepada Indonesia.
“Hal ini yang lebih menyuramkan keadaan kita”, kata marhum lagi, “karena itu Belanda berani bicara dengan ultimatum”.
Dalam pertemuan dengan Menteri-menteri yang tidak ikut duduk dalam Kabinet Sjahrir sebelumnya marhum Leimena menceritakan, bahwa ada dua macam dorongan untuk memberi konsesi sejauh mungkin.
Pertama : karena Belanda benar-benar bersedia berperang, berhubung proyeknya dapat persetujuan dari pihak Amerika.
Kedua : keadaan rakyat berat; dikhawatirkan perlawanan sudah mengurang. Sebaliknya perlu dipertanyakan, kalau kepada Belanda diberi kedaulatan de jure selama masa peralihan sampai penyerahan kedaulatan yang sebagai ancer-ancer ditetapkan 1 Januari 1949, maka apa yang tersisa dari sikap bangsa Indonesia untuk memilih jalan revolusi terhadap nafsu Belanda untuk menjajah kembali.
Tentu Belanda yang diakui sebagai pemimpin dalam usaha pembentukan negara-negara bagian akan melakukannya menurut rencananya. Republik yang hanya membantu dalam usaha itu dan dipersamakan dengan negara-negara bagian lainnya akan ditetapkan oleh Belanda segala sesuaatu mengenai wewenang-wewenangnya, jatah perwakilannya dalam pemerintahan federal peralihan. Hubungan ke luar dengan negara-negara kawan akan hilang, semua akal mendapat devisa dihentikan. Alhasil yang kita capai hanya Pemerintah Federal Jajahan terselubung dengan dominasi Belanda.
Melalui pertemuan-pertemuan semacam ini mendiang Dr. Leimena mendengar pendapat-pendapat baru yang mendapat kesungguhan hatinya untuk memikirkan jalan ke luar.  Diajukannya pikirannya, bahwa keadaan rakyat sudah berat. Di beberapa bagian pasukan TNI sudah kekurangan amunisi. Memang harus diakui, bahwa keadaan berat. Rakyat setelah menderita di zaman pendudukan Jepang, belum sempat mendapat keringanan dan waktu istirahat. Revolusi melawan Belanda niscaya meletakkan beban-beban baru. Berhubung dengan itu kita cenderung untuk mencegah dengan segala jalan beban-beban tambahan bagi rakyat akibat serbuan Belanda.
Bersamaan dengan marhum Leimena dalam pertemuan itu dianalisa lebih lanjut perjuangan di antara cara-cara perjuangan lain. Kita setuju mengambil jalan perundingan untuk memperlihatkan kepada Belanda dan dunia luar, bahwa kita ini bukan bangsa yang suka perang. Tapi bangsa Indonesia bersedia bertempur, kalau Belanda hendak memaksakan kemauannya untuk menjajah kembali. Keadaan Indonesia sesudah perang dunia II sudah lain, bangsa Indonesia mental juga sudah berubah. Pemerintah selama ini, sejak Proklamasi Kemerdekaan, membina Negara Republik dan mempertahankan kemerdekaannya.
Cara perjuangan kedua ialah dengan kekerasan secara perang gerilya. Karena Belanda dengan paksa menyerbu dan memperluas kedudukannya di bagian daerah Indonesia, di mana-mana ada gangguan dan perlawanan dari TNI atau laskar. Perang Gerilya ini dilakukan terus menerus, tidak perduli ada gencatan senjata, karena sikap Belanda selalu mencurigakan dengan usahanya untuk terus menerus memperkuat diri.
Cara perjuangan ketiga dilakukan oleh pejabat, pegawai dan buruh yang setia kepada Republik dan menolak bekerja pada Belanda. Buruh ini, jika Belanda menyerang, akan sedia menjalankan sabotage atau bumi hangus. Golongan ketiga ini tetap bertahan.
Cara perjuangan keempat dilakukan oleh lapisan rakyat luas, yang selalu siap menyumbang bantuan kepada kaum pejuang, terutama bertempat tinggal di desa-desa dan terdiri dari kaum petani.
Yang penting ialah mempelajari sungguh-sungguh, apa yang akan terjadi dengan empat cara perjuangan ini, kalau pecah perang terbuka. Karena Belanda sudah mulai dengan ultimatum-ultimatum maka sebenarnya cara perjuangan dengan perundingan sudah lewat untuk dimulai lagi kalau kesempatan untuk itu terbuka kembali. Belanda mengira, bahwa mereka akan cepat mencapai maksudnya dengan perang, menolak jalan perundingan. Yang penting ialah apa yang akan terjadi dengan tiga cara perjoangan lainnya, bagaimana daya tahan serta keuletannya.
Setelah Menteri-menteri mempelajari laporan Setiadjit dan jawaban Pemerintah kita terhadap tuntutan Belanda, maka diadakan Sidang Kabinet untuk membicarakan tindakan-tindakan apa yang selanjutnya harus diambil. Kesannya ialah, bahwa Pemerintah memberi lebih banyak konsesi lagi, dibanding dengan yang diberikan oleh Sjahrir. Tapi nampaknya memang yang diajukan kepada Sjahrir itu belum semua tuntutan. Sudah terasa, bahwa Belanda hendak mengarah kepada pembentukan Pemerintah Federal kolonial terselubung.
Mereka menuntut dan Republik menerima kekuasaan de jure Komisaris Tinggi Belanda dalam Pemerintahan interim selama masa peralihan dan Pemerintah peralihan terdiri dari wakil-wakil Pemerintah Belanda serta wakil-wakil Negara-negara Bagian yang akan dibentuk. Seterusnya tuntutan yang didesakkan, dan kita terima, lebih merinci, yaitu mengenai perusahaan asing dalam Republik dan bea cukai.
Tapi ada satu tuntutan yang bagaimanapun tidak mungkin diterima Republik, yaitu desakan Belanda untuk diadakan gendarmeri, badan kepolisian bersama dalam Republik, terdiri separo dari tenaga Belanda dan separo dari tenaga Indonesia.
Gendarmeri ini maksudnya menjaga ketertiban umum di daerah Republik. Kita tahu alasan Belanda mengajukan tuntutan ini, yang menurut mereka dianggap sangat penting. Pengawasan Republik terhadap pejuang-pejuang yang bersikap keras menurut Belanda kurang kuat. Dengan demikian kita sudah memperhitungkan, bahwa dengan konsesi-konsesi yang begitu jauh seperti tersebut di atas, masih tidak akan dapat tercapai persetujuan dengan Belanda, jika Republik tidak menyetujui gendarmeri.
Maka dari itu terus dipertimbangkan tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan, jika kita menghadapi perang. Pertama-tama Presiden dan keluarga harus diungsikan, bersama dengan separo dari Kabinet. Tempat pengungsian itu sangat aman, dan pada waktu itu tentu saja dirahasiakan. Perdana Menteri dan dua Wakil Perdana Menteri serta kira-kira separo dari anggota-anggota Kabinet lainnya tinggal di ibukota, artinya menghadapi di garis muka serbuan Belanda. Perhitungannya ialah, kalau sebagian besar dari mereka tewas atau tertangkap musuh, separo Kabinet yang sementara disimpan di tempat aman itu, akan melanjutkan pimpinan Negara. Tentunya juga diperhitungkan, bahwa Perdana Menteri dan Wakil-wakil Perdana Menteri tetap hidup dan bebas, untuk membina hubungan. Penulis tidak ingat, apakah marhum Dr. Leimena ikut diungsikan. Penulis termasuk bagian Kabinet yang tetap tinggal di Yogya. Tidak bertemu, karena masing-masing sibuk membuat persiapan. Tiap Menteri yang tetap tinggal dan memimpin pemerintahan tentu saja harus menjual jiwanya semahal-mahalnya. Dokumen-dokumen Departemen yang penting harus diamankan.
Kalau keadaan menggenting, tenaga-tenaga penting tidak lagi akan di kantor.
Setelah Belanda mengetahui, bahwa Republik tetap menolak tuntutannya mengenai gendarmeri, maka atas anjuran Van Mook, pada tanggal 20 Juli 1947 Perdana Menteri Beel memerintahkan tentara Belanda mengadakan serangan penuh dengan tujuan menghancurkan Republik. Tadinya tentara Belanda mengadakan serangan besar, diperkuat dengan tank-tank dan pesawat-pesawat tempur dari pangkalnya di Jawa dan Sumatera.
Dalam dua minggu Belanda sudah dapat merebut kota-kota penting di Jawa Barat dan Jawa Timur dan satu dua tempat di Sumatera. Akan tetapi mereka tidak dapat menghancurkan tubuh TNI yang menjalankan perang gerilya.
Menjalankan perang gerilya berarti menyingkiri jalan-jalan yang dapat dilalui tank, menyamping masuk hutan-hutan dan pedesaan, atau naik bukit-bukit dengan tumbuh-tumbuhan pohon yang padat. Dari tempat-tempat baru itu TNI dan laskar-laskar menyerang tentara Belanda di kota-kota dan jalan-jalan hubungan penting antara kota-kota di waktu-waktu yang ditentukan sendiri. Dengan demikian Belanda tidak dapat mencapai tujuannya yang pertama, yaitu menangkap pimpinan TNI atau pasukan gerilya, karena tentaranya tidak pernah berhadap-hadapan dengan mereka. Berbarengan dengan itu pejabat, pegawai dan buruh yang setia kepada Republik tetap menolak kerjasama dengan Belanda, di sana-sini menjalankan sabotage dan bumi hangus. Akhirnya lapisan rakyat luas, terutama di desa-desa senantiasa memberi bantuan yang diperlukan para pejuang. Jadi tiga cara perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan berjalan terus, hanya jalan perundingan saja yang berhenti.
Pengertian tentang perjuangan kita tidak lengkap, kalau tidak ditinjau juga pengaruh dari luar, yang datang dari peranan PBB atau Negara-negara besar. Yang paling penting tentu daya juang dan merugikan, ada kalanya juga menguntungkan. Pada masa pergolakan perang kolonial Belanda pertama, peranan Dewan Keamanan PBB meragukan dan berjalan lamban.
Pada tengah malam tanggal 4 menjelang 5 Agustus 1947, PM Beel memberi perintah kepada Van Mook untuk menghentikan perang berdasarkan resolusi Dewan Keamanan. Republik kemudian menyusul memberi perintah gencatan senjata. Akan tetapi karena tiada pengawasan yang efektif terhadap gencatan senjata itu, maka Belanda terus memperluas daerah pendudukannya di kiri-kanan jalan-jalan atau lingkungan kota-kota yang dikuasai untuk membulatkan menjadi daerah yang luas dengan batas-batas laskar juga tiada alasan untuk menghentikan serangan secara gerilya. Gerakan non-cooperation dan sabotage juga jalan terus, sedang lapis rakyat yang membantunya tidak mengurang.
Usaha Dewan Keamanan mencari cara menyelesaikan pertikaian politiknya akhirnya berhasil dengan dibentuknya Komisi Tiga Negara. Belanda memilih Belgia, Indonesia memilih Australia, dan wakil-wakil dua negara itu memilih Amerika.
Kita sudah merasa, bahwa perkembangan melalui KTN akan merugikan. Komisi itu tidak diberi wewenang yang cukup. Wakil Australia dan Amerika sama sekali tidak dihormati oleh Belanda. Dalam perundingan Belanda hanya berpegang kepada pendirian-pendiriannya seperti yang dirumuskan sendiri. Di luar perundingan mereka membentuk negara-negara bagian menurut rencananya sendiri, seperti Jawa Barat, Sumatera Utara dan Madura, dengan meremehkan KTN, mereka berkeyakinan, bahwa Amerika memihak mereka.
Kesemuanya ini penulis dapat mendengar lebih jelas dari marhum Dr. Leimena, karena marhum menjadi anggota delegasi Republik dalam perundingan yang menghasilkan Renville Agreement. Jadi setelah diumumkan, bahwa Dewan Keamanan memutuskan, supaya pada awal Agustus 1947 diadakan gencatan senjata, maka bagian Kabinet yang tetap di Yogya di bawah pimpinan PM berangkat ke Kandangan, tempat perkebunan di pegunungan di atas Madiun, untuk bersidang dengan Presiden dan para Menteri lainnya. PM di muka corong radio di Kandangan itu mengumumkan, bahwa Republik menerima resolusi Dewan Keamanan.
Sejak itu perkembangan  di negara dipimpin oleh Kabinet lengkap. Kita umumnya sangat prihatin memikirkan keadaan Negara dan rakyatnya. Daerah yang kita kuasai adalah daerah minus. Sekarang sudah makin kurang tekstil, obat-obatan dan suku cadang.
Tambah-tambah persetujuan Renville merugikan. Persetujuan Renville menyebabkan Kabinet Amir jatuh, diganti oleh Kabinet yang dipimpin oleh Wakil Presiden sendiri.
Sementara itu Belanda ternyata melanjutkan rencananya untuk membentuk Pemerintahan interim. Mula-mula memang Belanda mengira, bahwa waktu ada pada pihak mereka. Karena blokade ekonomi yang mereka lakukan terhadap daerah minus yang tinggal pada kita, mereka perhitungkan  bahwa Republik akan ambruk dengan perundingan.
Almarhum Dr. Leimena dan penulis seringkali membicarakan, bahwa dua-duanya baik Belanda maupun Republik sedang diuji kesabaran dan keuletannya. Sebab cara perjuangan bangsa kita, baik perang gerilnya dan non cooperation maupun daya tahan lapisan rakyat yang setia membantu, jalan terus. Dan sekarang jalan perundingan terbuka kembali, meskipun Belanda senantiasa menyingkirnya.
Namun Republik masih harus menghadapi percobaan baru. Sedang Kabinet Hatta sangat prihatin merasakan keadaan masyarakat, dan juga tidak berhasil untuk mengajak pihak Belanda ke meja perundingan melalui KTN, terjadi pemberontakan Madiun di bawah Amir Sjarifoeddin dan Moeso. Untungnya dengan sebagian dari tenaga TNI pemberontakan itu dapat dituntas. Bagian penting lainnya perlu terus menjaga garis Van Mook dan tetap melakukan perang gerilya melawan Belanda.
Menurut marhum Dr. Leimena bagian sejarah bangsa kita sejak kegentingan menghadapi perang koloial pertama sampai dengan kejadian-kejadian sesudah perang kolonial kedua, merupakan bagian yang paling banyak memberi pelajaran untuk merumuskan sistim pertahanan rakyat. Dengan memakai pikiran-pikiran yang logis rasional saja, ada kalanya kita merasa putus asa. Dari data yang kita ketahui, daerah Republik yang mengecil karena kita menerima garis Van Mook merupakan daerah minus yang serba kurang. Kurang tekstil dan kurang obat-obatan, kurang amunisi dan kurang suku cadang. Tapi realitasnya, perlawanan rakyat kita tetap berjalan terus. Setelah Belanda menduduki Yogya dengan perang kolonialnya yang kedua mereka mengeluh masih terus ada gangguan gerilya, mereka tidak mendapat pegawai Indonesia dan tidak mendapat persediaan beras cukup karena rakyat tidak bersedia menjual berasnya kepada Belanda sebab menolak uang federal. Mereka dapat membawa Presiden, Wakil Presiden dan beberapa Menteri ke Bangka, tapi perjuangan gerilya, non-cooperation dan bantuan rakyat kepada pejuang berjalan terus.
“Maka dari itu,” kata marhum Leimena, “Kita tidak boleh mengukur keadaan secara umum saja, tapi melihat benar-benar realitas perlawanan rakyat.” Sebenarnya tidak saja Republik, tapi juga Belanda diuji tentang kesabaran dan keuletannya. Dan Belandalah ternyata yang gugup dan menyerang dengan perang kolonial kedua. Akibatnya reaksi dunia dan reaksi PBB serta Amerika berobah. Belanda secara menyolok yang melanggar putusan Dewan Keamanan.
Kongres Amerika mengancam akan menahan bantuan kreditnya kepada Belanda, Bahwa Pemerintah Republik dapat pulang ke Yogya, dan tentara Belanda harus mengosongkannya, merupakan permulaan kemenangan Republik dan membuka jalan ke perundingan baru di KMB.
Almarhum Dr. Leimena masih beberapa kali dengan penulis berada dalam ikatan kerjasama sebagai pejabat negara, dalam Kabinet RIS, dan dalam kabinet yang diketuai penulis sendiri. Tapi juga di Pimpinan Konstituante untuk beberapa waktu dan di Dewan Pertimbangan Agung yang dua-duanya kebetulan juga diketuai oleh penulis. Di waktu senggang selama berkali-kali bekerjasama itu, banyak sekali kita bicarakan pengalaman kita bersama dalam bagian sejarah tentang perang-perang kolonial itu, karena mengandung banyak pelajaran.
Mendiang Doctor Johannes Leimena pada 6 Maret 1980 akan mencapai usia 75 tahun. Terkenang kembali semua pemikiran bersama tentang perjalanan Negara kita dan rakyatnya. Mudah-mudahan mendiang mendapat tempat yang lapang di sisi Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar