Membuat sumbangan tulisan untuk mengenang mendiang Doctor Johannes
Leimena berarti menggambarkan seorang tokoh nasional yang mengerjakan
tiap tugas negara atau tugas masyarakat yang diwajibkan kepadanya
senantiasa dengan kesungguhan hati. Mungkin kesungguhan hati itu memang
tabiat dirinya, tapi mungkin pula hasil latihan mendalam yang
diperolehnya, karena seringnya menduduki jabatan-jabatan penting, hingga
mempunyai pandangan menyeluruh tentang kesukaran-kesukaran besar yang
dihadapi negara dan rakyatnya. Indonesia terpaksa mengambil jalan
revolusi dalam mengadapi keinginan Belanda untuk menjajah kembali.
Memang tidak ada pilihan lain terhadap negara penjajah itu, daripada
Proklamasi Kemerdekaan dan berjuang untuk mempertahankannya. Tentang
keputusan bangsa itu kita tidak pernah menyesal. Tapi sebaliknya kita
harus mengakui, bahwa jalan ini membawa banyak sekali
peristiwa-peristiwa yang ruwet dan sulit, baik selama revolusi maupun
setelah pengakuan kedaulatan. Kita membutuhkan sekali tokoh-tokoh
nasional yang berkesadaran mengabdi Negara dan rakyat untuk
menyelesaikan peristiwa-peristiwa yang banyak itu.
Almarhum Doctor Johannes Leimena adalah tokoh nasional yang patut
diperingati, karena marhum, dengan lain-lain nama yang terkenal seperti
Latuharhary dan Putuhena, sejak sebelum revolusi termasuk golongan yang
menanam kesadaran yang kuat akan kesatuan dan persatuan bangsa
Indonesia, mula-mula melalui kalangan cendekiawannya, selanjutnya merata
sampai rakyatnya di seluruh Maluku.
Tapi sifat dan jalannya revolusi Indonesia menumbuhkan keadaan yang
berbeda-beda di wilayahnya yang sangat luas itu. Macam-macam faktor
dapat menimbulkan situasi yang macam-macam pula, hingga muncul
peristiwa-peristiwa yang ruwet dan pelik. Komunikasi antara Jawa dan
luar Jawa sukar, dan ini diexploitir oleh Belanda dalam membentuk Negara
Bagian Indonesia Timur. Dalam waktu peralihan sesudah pengakuan
kedaulatan Republik berdasarkan konperensi Meja Bundar muncul
separatisme di daerah yang sangat terbatas dalam bentuk Republik Maluku
Selatan.
Almarhum Dr. Leimena dikirim ke Maluku untuk menyelesaikan peristiwa RMS ini.
Pada waktu itu marhum dan penulis bersama duduk dalam satu kabinet,
kabinet RIS di bawah pimpinan Bung Hatta. Marhum sebagai Menteri
Kesehatan, penulis sebagai Menteri Perburuhan. Jika usaha penyelesaian
dengan damai tidak berhasil, hal ini pasti bukan karena marhum tidak
mencurahkan sepenuhnya tenaga dan pikirannya. Penyelesaiannya terpaksa
dijalankan dengan kekerasan. Gerakan separatis ini hanya mendapat akar
di satu pulau, karena salah paham dan ulah beberapa oknum pimpinan
militer Belanda dan dari daerah sendiri.
Seluruh daerah Indonesia Timur menggabung menjadi Negara Kesatuan,
Republik Indonesia Kesatuan, bersama Negara-negara Bagian buatan Belanda
lainnya. Republik Indonesia Kesatuan yang mengganti Negara RIS ini
dinyatakan berdiri pada 17 Agustus 1950. Dengan demikian dari Negara
Bagian dan Daerah Istimewa bentukan Belanda yang merupakan masalah hanya
yang menamakan diri negara RMS saja.
Pemberontakan ini dapat ditumpas dalam waktu yang tidak lama, tapi
peristiwa ini mempunyai akibat-akibat yang berkepanjangan. Tidak saja,
karena “Presiden”-nya tidak terus ditangkap, tapi juga, karena RMS
sebagai gerakan di negeri Belanda berulang kali menimbulkan keonaran,
setelah “Presiden”-nya itu tertangkap dan menjalani keputusan Hakim di
Indonesia. Nampaknya Pemerintah Belanda terlalu lama membiarkan kegiatan
RMS ini, dan pasti juga di sana ada badan dan golongan yang
membantunya. Kita percaya, bahwa setelah peristiwa RMS tidak dapat
diselesaikan melalui perundingan, pemberontakan yang berdiri sendiri,
setelah Negara Bagian Indonesia Timur setuju bersatu dalam Republik
Kesatuan, harus ditumpas dan pasti dapat ditumpas olehTNI. Tapi umumnya
orang tidak mengira, bahwa akan ada kelanjutannya berupa gerakan di
negeri Belanda. Sebenarnya marhum Dr. Leimena dalam suatu Sidang
Kabinet, masih di zaman RIS, telah mengingatkan kepada kita, bahwa
persoalan RMS akan mempunyai ekor yang panjang. Dengan suara yang tenang
dan ramah marhum berkata dalam bahasa Belanda :
“Dit muisje zal nog een staartje hebben.”
Barangkalli karena sering harus menjalankan tugas-tugas Negara yang
penting, maka marhum menjadi seorang perasa, yang, karena terus-menerus
memikirkan masalahnya, mempunyai penglihatan yang tajam jauh ke depan.
Sampai waktu-waktu terakhir, ketika datang di negeri Belanda, mendiang
masih dengan kesungguhan hati bersedia melibatkan diri dalam usaha
menyerasikan masalah pengikut-pengikut republik khayalan ini. Demikian
rasa tanggungjawabnya terhadap soal kesatuan dan persatuan bangsa.
Jika penulis di sini mencoba menggambarkan kesungguhan hatinya
terhadap kepentingan Negara dan rakyatnya, maksudnya bukan memberi
kesan, bahwa marhum adalah orang yang bermuka suram. Sebaliknya, dalam
pertemuan biasa, kesan yang kita peroleh dari padanya, ialah seorang
peramah. Dalam pertemuan biasa marhum dengan ramah-tamah bicara tentang
keadaan keluarga, bercakap-cakap dengan santai dan menenangkan, kalau
ada yang bicara tentang keadaan keluarga, bercakap-cakap dengan santai
dan menenangkan, kalau ada yang bicara tentang adanya keresahan, malahan
bersedia untuk bergurau.
Di atas telah dikatakan, bahwa Indonesia, yang untuk mencapai
kemerdekaan terpaksa melalui jalan revolusi fisik, sebagai akibatnya
menghadapi lebih banyak macam-macam peristiwa setelah penyerahan
kedaulatan oleh Belanda, dibandingkan dengan India atau Malaysia, yang
begitu saja memperoleh kemerdekaan. Tapi kita memang tidak pernah merasa
menyesal tentang pilihan jalan itu, karena tidak ada alternatif lain.
Belanda tidak akan memberi kemerdekaan begitu saja kepada Indonesia,
karena mereka sebagai negara penjajah tidak dapat disamakan dengan
Inggris di bawah PM Attlee. Mereka mempunyai proyek yang ortodox,
seperti telah nampak sepanjang jalannya revolusi fisik yang hampir lima
tahun itu. Penulis sering membicarakan hal itu dengan marhum Leimena,
sebab Kabinet RIS bukan buat pertama kali merupakan kesempatan
kerjasama. Sebelum itu penulis pernah kerjasama dalam satu kabinet
dengan marhum, yaitu dalam kabinet Amir Sjarifuddin. Situasinya pada
waktu itu lebih suram, dan juga lebih seram. Suram, karena sekalipun
sudah ada perjanjian Linggarjati, tentang pelaksanaannya ada perbedaan
paham. Seram, karena Belanda hendak mendesakkan penafsirannya sendiri
dan kalau Republik tidak sedia menerimanya, hal itu akan berarti perang.
Memang kita menghadapi bahaya pertama, yang Belanda menamakannya
“politionele actie”.
Setelah Kabinet Sjahrir ke-III jatuh, dibentuk Kabinet baru di bawah
pimpinan Amir Sjarifoeddin. Marhum Dr. Leimena menjadi Menteri
Kesehatan, penulis Menteri Muda Perburuhan. Kabinet Sjahrir jatuh karena
Sayap Kiri, pendukung utama kabinet tersebut pecah. Sebagian tidak
dapat menerima kebijaksanaan Sjahrir, yang dianggap terlalu jauh memberi
konsesi kepada pihak Belanda.
Sebenarnya memang ada selisih antara Belanda dan kita tentang
penafsiran beberapa kata dalam perjanjian Linggarjati, hingga timbul
tuduh-menuduh dalam pelaksanaan. Mendadak Belanda mengirim surat yang
menetapkan sepihak penafsiran mereka yang harus diterima oleh Republik.
Kalau tidak diterima, berarti perang. Menurut konsepsi Belanda, sebelum
penyerahan kedaulatan kepada suatu Negera Federal, Belanda yang
melakukan pemerintahan sementara. Meskipun perjanjian jelas menganggap
Belanda dan Republik sebagai dua pihak dalam perjanjian, pembentukan
negara-negara bagian dilakukan dengan pimpinan Belanda saja, dan
Republik harus membantu. Kata “cooperation” tidak diartikan, bahwa
Belanda dan Republik dua-duanya menjadi sponsor dalam membentuk
negara-negara bagian lainnya. Kalau Sjahrir menerima semua ini, rasanya
koneksi yang diberikan memang amat banyak. Tapi sebenarnya yang
keterlaluan sikap Belanda. Memang ada perbedaan penafsiran tentang
beberapa kata dalam perjanjian. Hal itu sudah diketahui umum, diketahui
KNIP, diketahui parlemen Belanda.
Mestinya ada sikap yang lebih sabar, lebih luwes. Tapi 25 Maret 1947
perjanjian ditandatangani, 27 Mei 1947 ultimatum: Kapitulasi atau
perang.
Dalam sidang pertama Kabinet Amir, yang terbentuk pada 3 Juli 1947,
Perdana Menteri memberi penjelasan tentang keadaan Negara yang sangat
genting itu. Sekaligus diberitahukan, bahwa Pemerintah telah mengutus
Wakil Perdana Menteri Setiadjit untuk berunding dengan Van Mook.
Sebagian besar dari anggota Kabinet sebenarnya sudah mengetahui
pokok-pokok kedudukan perkaranya. Maka dari itu banyak yang tidak
mengerti, apa perlunya mengirim utusan Kabinet ke Jakarta. Marhum Ali
Sastroamidjojo yang kedudukannya Menteri P & K juga menanyakan dalam
Sidang itu, apa yang akan dirundingkan dengan Belanda, kalau sikap
mereka sudah terang-terang ultimatif. PM menjawab pertanyaan ini dengan
mengatakan, bahwa masih ada kemungkinan-kemungkinan yang perlu dijajaki,
dan untuk memperlihatkan kemauan baik kita. Sementara itu diusahakan
mendapat hubungan telepon dengan Jakarta. Akhirnya kita dapat jawaban
dari Setiadjit, bahwa Belanda tetap pada pendirian-pendiriannya, malahan
menganjurkan supaya kita menerima saja usul-usulnya yang tidak dapat
ditawar lagi itu.
Marhum Dr. Leimena yang juga duduk dalam Kabinet Sjahrir sudah barang
tentu lebih mengetahui secara mendalam pertentangan Indonesia – Belanda
yang menggenting itu, tapi dalam Sidang tidak mengeluarkan suara. Tapi
ini bukan berarti, bahwa penulis tidak sempat banyak bertukar pikiran
dengan marhum tentang latar belakang perkembangannya. Kita umumnya
bertanya-tanya bagaimana mungkin Belanda hanya dua bulan sesudah
perjanjian Linggarjati ditandatangani secara resmi, mendadak sikapnya
begitu garang. Harus diakui, bahwa kedudukannya memang cukup kuat.
Daerah Indonesia yang diduduki atau dipengaruhi cukup luas.
Tentaranya berangsur-angsur tapi cepat diperkuat, senjatanya bertambah
banyak dan alat transpor militer berlipat ganda. Semua pelabuhan berlaut
dalam (deep sea) dikuasai, hingga dapat mengadakan blokade ekonomis
lebih rapat. Berdasarkan kemajuan-kemajuan ini, barangkali mereka
berpendapat, bahwa mereka dapat mematahkan perlawanan Republik dalam
waktu singkat. Tapi hanya dengan perhitungan itu saja, mereka mustahil
merobah sikapnya menjadi begitu keras.
“Itulah yang menjadi pikiran”, kata marhum Leimena dalam suatu
pertemuan. Kelihatannya Van Mook sebelumnya sudah menemui Jendral
Marshall di Amerika. Yang menjadi pembicaraan sebenarnya berpangkal pada
bantuan Amerika kepada Negara Belanda, yang sudah direncanakan. Karena
sebagian dari bantuan disediakan untuk kepentingan Indonesia, dengan
sendirinya pembicaraan juga menyinggung soal penyelesaian Indonesia.
Nampak Amerika menyetujui program Belanda untuk memberikan kedaulatan de
jure kepada Belanda dalam masa peralihan sebelum kedaulatan diserahkan
kepada Indonesia.
“Hal ini yang lebih menyuramkan keadaan kita”, kata marhum lagi, “karena itu Belanda berani bicara dengan ultimatum”.
Dalam pertemuan dengan Menteri-menteri yang tidak ikut duduk dalam
Kabinet Sjahrir sebelumnya marhum Leimena menceritakan, bahwa ada dua
macam dorongan untuk memberi konsesi sejauh mungkin.
Pertama : karena Belanda benar-benar bersedia berperang, berhubung proyeknya dapat persetujuan dari pihak Amerika.
Kedua : keadaan rakyat berat; dikhawatirkan perlawanan sudah
mengurang. Sebaliknya perlu dipertanyakan, kalau kepada Belanda diberi
kedaulatan de jure selama masa peralihan sampai penyerahan kedaulatan
yang sebagai ancer-ancer ditetapkan 1 Januari 1949, maka apa yang
tersisa dari sikap bangsa Indonesia untuk memilih jalan revolusi
terhadap nafsu Belanda untuk menjajah kembali.
Tentu Belanda yang diakui sebagai pemimpin dalam usaha pembentukan
negara-negara bagian akan melakukannya menurut rencananya. Republik yang
hanya membantu dalam usaha itu dan dipersamakan dengan negara-negara
bagian lainnya akan ditetapkan oleh Belanda segala sesuaatu mengenai
wewenang-wewenangnya, jatah perwakilannya dalam pemerintahan federal
peralihan. Hubungan ke luar dengan negara-negara kawan akan hilang,
semua akal mendapat devisa dihentikan. Alhasil yang kita capai hanya
Pemerintah Federal Jajahan terselubung dengan dominasi Belanda.
Melalui pertemuan-pertemuan semacam ini mendiang Dr. Leimena
mendengar pendapat-pendapat baru yang mendapat kesungguhan hatinya untuk
memikirkan jalan ke luar. Diajukannya pikirannya, bahwa keadaan rakyat
sudah berat. Di beberapa bagian pasukan TNI sudah kekurangan amunisi.
Memang harus diakui, bahwa keadaan berat. Rakyat setelah menderita di
zaman pendudukan Jepang, belum sempat mendapat keringanan dan waktu
istirahat. Revolusi melawan Belanda niscaya meletakkan beban-beban baru.
Berhubung dengan itu kita cenderung untuk mencegah dengan segala jalan
beban-beban tambahan bagi rakyat akibat serbuan Belanda.
Bersamaan dengan marhum Leimena dalam pertemuan itu dianalisa lebih
lanjut perjuangan di antara cara-cara perjuangan lain. Kita setuju
mengambil jalan perundingan untuk memperlihatkan kepada Belanda dan
dunia luar, bahwa kita ini bukan bangsa yang suka perang. Tapi bangsa
Indonesia bersedia bertempur, kalau Belanda hendak memaksakan kemauannya
untuk menjajah kembali. Keadaan Indonesia sesudah perang dunia II sudah
lain, bangsa Indonesia mental juga sudah berubah. Pemerintah selama
ini, sejak Proklamasi Kemerdekaan, membina Negara Republik dan
mempertahankan kemerdekaannya.
Cara perjuangan kedua ialah dengan kekerasan secara perang gerilya.
Karena Belanda dengan paksa menyerbu dan memperluas kedudukannya di
bagian daerah Indonesia, di mana-mana ada gangguan dan perlawanan dari
TNI atau laskar. Perang Gerilya ini dilakukan terus menerus, tidak
perduli ada gencatan senjata, karena sikap Belanda selalu mencurigakan
dengan usahanya untuk terus menerus memperkuat diri.
Cara perjuangan ketiga dilakukan oleh pejabat, pegawai dan buruh yang
setia kepada Republik dan menolak bekerja pada Belanda. Buruh ini, jika
Belanda menyerang, akan sedia menjalankan sabotage atau bumi hangus.
Golongan ketiga ini tetap bertahan.
Cara perjuangan keempat dilakukan oleh lapisan rakyat luas, yang
selalu siap menyumbang bantuan kepada kaum pejuang, terutama bertempat
tinggal di desa-desa dan terdiri dari kaum petani.
Yang penting ialah mempelajari sungguh-sungguh, apa yang akan terjadi
dengan empat cara perjuangan ini, kalau pecah perang terbuka. Karena
Belanda sudah mulai dengan ultimatum-ultimatum maka sebenarnya cara
perjuangan dengan perundingan sudah lewat untuk dimulai lagi kalau
kesempatan untuk itu terbuka kembali. Belanda mengira, bahwa mereka akan
cepat mencapai maksudnya dengan perang, menolak jalan perundingan. Yang
penting ialah apa yang akan terjadi dengan tiga cara perjoangan
lainnya, bagaimana daya tahan serta keuletannya.
Setelah Menteri-menteri mempelajari laporan Setiadjit dan jawaban
Pemerintah kita terhadap tuntutan Belanda, maka diadakan Sidang Kabinet
untuk membicarakan tindakan-tindakan apa yang selanjutnya harus diambil.
Kesannya ialah, bahwa Pemerintah memberi lebih banyak konsesi lagi,
dibanding dengan yang diberikan oleh Sjahrir. Tapi nampaknya memang yang
diajukan kepada Sjahrir itu belum semua tuntutan. Sudah terasa, bahwa
Belanda hendak mengarah kepada pembentukan Pemerintah Federal kolonial
terselubung.
Mereka menuntut dan Republik menerima kekuasaan de jure Komisaris
Tinggi Belanda dalam Pemerintahan interim selama masa peralihan dan
Pemerintah peralihan terdiri dari wakil-wakil Pemerintah Belanda serta
wakil-wakil Negara-negara Bagian yang akan dibentuk. Seterusnya tuntutan
yang didesakkan, dan kita terima, lebih merinci, yaitu mengenai
perusahaan asing dalam Republik dan bea cukai.
Tapi ada satu tuntutan yang bagaimanapun tidak mungkin diterima
Republik, yaitu desakan Belanda untuk diadakan gendarmeri, badan
kepolisian bersama dalam Republik, terdiri separo dari tenaga Belanda
dan separo dari tenaga Indonesia.
Gendarmeri ini maksudnya menjaga ketertiban umum di daerah Republik.
Kita tahu alasan Belanda mengajukan tuntutan ini, yang menurut mereka
dianggap sangat penting. Pengawasan Republik terhadap pejuang-pejuang
yang bersikap keras menurut Belanda kurang kuat. Dengan demikian kita
sudah memperhitungkan, bahwa dengan konsesi-konsesi yang begitu jauh
seperti tersebut di atas, masih tidak akan dapat tercapai persetujuan
dengan Belanda, jika Republik tidak menyetujui gendarmeri.
Maka dari itu terus dipertimbangkan tindakan-tindakan apa yang harus
dilakukan, jika kita menghadapi perang. Pertama-tama Presiden dan
keluarga harus diungsikan, bersama dengan separo dari Kabinet. Tempat
pengungsian itu sangat aman, dan pada waktu itu tentu saja dirahasiakan.
Perdana Menteri dan dua Wakil Perdana Menteri serta kira-kira separo
dari anggota-anggota Kabinet lainnya tinggal di ibukota, artinya
menghadapi di garis muka serbuan Belanda. Perhitungannya ialah, kalau
sebagian besar dari mereka tewas atau tertangkap musuh, separo Kabinet
yang sementara disimpan di tempat aman itu, akan melanjutkan pimpinan
Negara. Tentunya juga diperhitungkan, bahwa Perdana Menteri dan
Wakil-wakil Perdana Menteri tetap hidup dan bebas, untuk membina
hubungan. Penulis tidak ingat, apakah marhum Dr. Leimena ikut
diungsikan. Penulis termasuk bagian Kabinet yang tetap tinggal di Yogya.
Tidak bertemu, karena masing-masing sibuk membuat persiapan. Tiap
Menteri yang tetap tinggal dan memimpin pemerintahan tentu saja harus
menjual jiwanya semahal-mahalnya. Dokumen-dokumen Departemen yang
penting harus diamankan.
Kalau keadaan menggenting, tenaga-tenaga penting tidak lagi akan di kantor.
Setelah Belanda mengetahui, bahwa Republik tetap menolak tuntutannya
mengenai gendarmeri, maka atas anjuran Van Mook, pada tanggal 20 Juli
1947 Perdana Menteri Beel memerintahkan tentara Belanda mengadakan
serangan penuh dengan tujuan menghancurkan Republik. Tadinya tentara
Belanda mengadakan serangan besar, diperkuat dengan tank-tank dan
pesawat-pesawat tempur dari pangkalnya di Jawa dan Sumatera.
Dalam dua minggu Belanda sudah dapat merebut kota-kota penting di
Jawa Barat dan Jawa Timur dan satu dua tempat di Sumatera. Akan tetapi
mereka tidak dapat menghancurkan tubuh TNI yang menjalankan perang
gerilya.
Menjalankan perang gerilya berarti menyingkiri jalan-jalan yang dapat
dilalui tank, menyamping masuk hutan-hutan dan pedesaan, atau naik
bukit-bukit dengan tumbuh-tumbuhan pohon yang padat. Dari tempat-tempat
baru itu TNI dan laskar-laskar menyerang tentara Belanda di kota-kota
dan jalan-jalan hubungan penting antara kota-kota di waktu-waktu yang
ditentukan sendiri. Dengan demikian Belanda tidak dapat mencapai
tujuannya yang pertama, yaitu menangkap pimpinan TNI atau pasukan
gerilya, karena tentaranya tidak pernah berhadap-hadapan dengan mereka.
Berbarengan dengan itu pejabat, pegawai dan buruh yang setia kepada
Republik tetap menolak kerjasama dengan Belanda, di sana-sini
menjalankan sabotage dan bumi hangus. Akhirnya lapisan rakyat luas,
terutama di desa-desa senantiasa memberi bantuan yang diperlukan para
pejuang. Jadi tiga cara perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan
berjalan terus, hanya jalan perundingan saja yang berhenti.
Pengertian tentang perjuangan kita tidak lengkap, kalau tidak
ditinjau juga pengaruh dari luar, yang datang dari peranan PBB atau
Negara-negara besar. Yang paling penting tentu daya juang dan merugikan,
ada kalanya juga menguntungkan. Pada masa pergolakan perang kolonial
Belanda pertama, peranan Dewan Keamanan PBB meragukan dan berjalan
lamban.
Pada tengah malam tanggal 4 menjelang 5 Agustus 1947, PM Beel memberi
perintah kepada Van Mook untuk menghentikan perang berdasarkan resolusi
Dewan Keamanan. Republik kemudian menyusul memberi perintah gencatan
senjata. Akan tetapi karena tiada pengawasan yang efektif terhadap
gencatan senjata itu, maka Belanda terus memperluas daerah pendudukannya
di kiri-kanan jalan-jalan atau lingkungan kota-kota yang dikuasai untuk
membulatkan menjadi daerah yang luas dengan batas-batas laskar juga
tiada alasan untuk menghentikan serangan secara gerilya. Gerakan
non-cooperation dan sabotage juga jalan terus, sedang lapis rakyat yang
membantunya tidak mengurang.
Usaha Dewan Keamanan mencari cara menyelesaikan pertikaian politiknya
akhirnya berhasil dengan dibentuknya Komisi Tiga Negara. Belanda
memilih Belgia, Indonesia memilih Australia, dan wakil-wakil dua negara
itu memilih Amerika.
Kita sudah merasa, bahwa perkembangan melalui KTN akan merugikan.
Komisi itu tidak diberi wewenang yang cukup. Wakil Australia dan Amerika
sama sekali tidak dihormati oleh Belanda. Dalam perundingan Belanda
hanya berpegang kepada pendirian-pendiriannya seperti yang dirumuskan
sendiri. Di luar perundingan mereka membentuk negara-negara bagian
menurut rencananya sendiri, seperti Jawa Barat, Sumatera Utara dan
Madura, dengan meremehkan KTN, mereka berkeyakinan, bahwa Amerika
memihak mereka.
Kesemuanya ini penulis dapat mendengar lebih jelas dari marhum Dr.
Leimena, karena marhum menjadi anggota delegasi Republik dalam
perundingan yang menghasilkan Renville Agreement. Jadi setelah
diumumkan, bahwa Dewan Keamanan memutuskan, supaya pada awal Agustus
1947 diadakan gencatan senjata, maka bagian Kabinet yang tetap di Yogya
di bawah pimpinan PM berangkat ke Kandangan, tempat perkebunan di
pegunungan di atas Madiun, untuk bersidang dengan Presiden dan para
Menteri lainnya. PM di muka corong radio di Kandangan itu mengumumkan,
bahwa Republik menerima resolusi Dewan Keamanan.
Sejak itu perkembangan di negara dipimpin oleh Kabinet lengkap. Kita
umumnya sangat prihatin memikirkan keadaan Negara dan rakyatnya. Daerah
yang kita kuasai adalah daerah minus. Sekarang sudah makin kurang
tekstil, obat-obatan dan suku cadang.
Tambah-tambah persetujuan Renville merugikan. Persetujuan Renville
menyebabkan Kabinet Amir jatuh, diganti oleh Kabinet yang dipimpin oleh
Wakil Presiden sendiri.
Sementara itu Belanda ternyata melanjutkan rencananya untuk membentuk
Pemerintahan interim. Mula-mula memang Belanda mengira, bahwa waktu ada
pada pihak mereka. Karena blokade ekonomi yang mereka lakukan terhadap
daerah minus yang tinggal pada kita, mereka perhitungkan bahwa Republik
akan ambruk dengan perundingan.
Almarhum Dr. Leimena dan penulis seringkali membicarakan, bahwa
dua-duanya baik Belanda maupun Republik sedang diuji kesabaran dan
keuletannya. Sebab cara perjuangan bangsa kita, baik perang gerilnya dan
non cooperation maupun daya tahan lapisan rakyat yang setia membantu,
jalan terus. Dan sekarang jalan perundingan terbuka kembali, meskipun
Belanda senantiasa menyingkirnya.
Namun Republik masih harus menghadapi percobaan baru. Sedang Kabinet
Hatta sangat prihatin merasakan keadaan masyarakat, dan juga tidak
berhasil untuk mengajak pihak Belanda ke meja perundingan melalui KTN,
terjadi pemberontakan Madiun di bawah Amir Sjarifoeddin dan Moeso.
Untungnya dengan sebagian dari tenaga TNI pemberontakan itu dapat
dituntas. Bagian penting lainnya perlu terus menjaga garis Van Mook dan
tetap melakukan perang gerilya melawan Belanda.
Menurut marhum Dr. Leimena bagian sejarah bangsa kita sejak
kegentingan menghadapi perang koloial pertama sampai dengan
kejadian-kejadian sesudah perang kolonial kedua, merupakan bagian yang
paling banyak memberi pelajaran untuk merumuskan sistim pertahanan
rakyat. Dengan memakai pikiran-pikiran yang logis rasional saja, ada
kalanya kita merasa putus asa. Dari data yang kita ketahui, daerah
Republik yang mengecil karena kita menerima garis Van Mook merupakan
daerah minus yang serba kurang. Kurang tekstil dan kurang obat-obatan,
kurang amunisi dan kurang suku cadang. Tapi realitasnya, perlawanan
rakyat kita tetap berjalan terus. Setelah Belanda menduduki Yogya dengan
perang kolonialnya yang kedua mereka mengeluh masih terus ada gangguan
gerilya, mereka tidak mendapat pegawai Indonesia dan tidak mendapat
persediaan beras cukup karena rakyat tidak bersedia menjual berasnya
kepada Belanda sebab menolak uang federal. Mereka dapat membawa
Presiden, Wakil Presiden dan beberapa Menteri ke Bangka, tapi perjuangan
gerilya, non-cooperation dan bantuan rakyat kepada pejuang berjalan
terus.
“Maka dari itu,” kata marhum Leimena, “Kita tidak boleh mengukur
keadaan secara umum saja, tapi melihat benar-benar realitas perlawanan
rakyat.” Sebenarnya tidak saja Republik, tapi juga Belanda diuji tentang
kesabaran dan keuletannya. Dan Belandalah ternyata yang gugup dan
menyerang dengan perang kolonial kedua. Akibatnya reaksi dunia dan
reaksi PBB serta Amerika berobah. Belanda secara menyolok yang melanggar
putusan Dewan Keamanan.
Kongres Amerika mengancam akan menahan bantuan kreditnya kepada
Belanda, Bahwa Pemerintah Republik dapat pulang ke Yogya, dan tentara
Belanda harus mengosongkannya, merupakan permulaan kemenangan Republik
dan membuka jalan ke perundingan baru di KMB.
Almarhum Dr. Leimena masih beberapa kali dengan penulis berada dalam
ikatan kerjasama sebagai pejabat negara, dalam Kabinet RIS, dan dalam
kabinet yang diketuai penulis sendiri. Tapi juga di Pimpinan
Konstituante untuk beberapa waktu dan di Dewan Pertimbangan Agung yang
dua-duanya kebetulan juga diketuai oleh penulis. Di waktu senggang
selama berkali-kali bekerjasama itu, banyak sekali kita bicarakan
pengalaman kita bersama dalam bagian sejarah tentang perang-perang
kolonial itu, karena mengandung banyak pelajaran.
Mendiang Doctor Johannes Leimena pada 6 Maret 1980 akan mencapai usia
75 tahun. Terkenang kembali semua pemikiran bersama tentang perjalanan
Negara kita dan rakyatnya. Mudah-mudahan mendiang mendapat tempat yang
lapang di sisi Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar