Jumat, 05 Juli 2013

Sejarah Berdirinya Warkop Dono Kasino Indro

Pada masa jayanya, film Warkop DKI tidak hanya ditayangkan bioskop lokal. Jaringan bioskop untuk orang kelas menengah ke atas, Teater 21, sering menayangkan film mereka. Tak hanya itu, di kampung-kampung diadakan ‘layar tancap’ yang menayangkan film Warkop DKI. Masyarakat pun berbondong-bondong untuk selalu menjadi tontonan menarik bagi masyarakat.
“Kita punya kelas penonton sendiri. Semua orang di Indonesia, selalu membicarakan kelompok Warkop DKI,” kenang Indro.
Dengan semakin terkenalnya, Warkop banyak mendapat undangan ke daerah di seluruh Indonesia. Kisah yang tidak terlupakan, kenang Indro, saat berkunjung ke Timika, Papua.
Masyarakat di sana memadati lapangan dengan mengenakan koteka. Selama berlangsung dialog lawakan, tak ada satu pun warga yang tertawa. “Kami bingung,” tuturnya. Koteka adalah alat penutup kemaluan untuk pria. Di buat dari buah labu. Isi dan bijinya dibuang dan dijemur. Setelah kering, baru bisa dijadikan penutup kemaluan.
“Tiba-tiba Dono berinisiatif. Ia berlari-larian dengan gayanya yang lucu di atas panggung,” Indro memperagakan gaya Dono kepada saya. Gaya Dono, tiru Indro, bergoyak dan melenggokan tubuh sambil tertawa-tawa.
“Saya dan Kasino, ikutan juga bergaya kayak Dono. Eh…penonton baru pada ketawaan,” kenang Indro sambil tertawa.
Kocak Warkop DKI selalu ramai oleh penonton. Kelompok ini, tidak pernah surut dari zaman dan tidak pernah sepi dari kelucuan. Di mana ada Warkop, disitu orang tertawa.
Sejarah Berdirinya Warkop DKI
************
Tubagus Deddy Gumelar alias Miing yang kini membentuk kelompok lawak Bagito Group, punya kenangan sendiri dengan Warkop DKI. Tahun 1986, dirinya diajak oleh Kasino untuk menjadi staf asistennya. Sendirian.
“Kasino melihat saya, karena lawakan Bagito banyak nyinggung ke masalah sosial dan politik. Dan akhirnya saya diajak. Saya setuju. Karena Warkop juga punya nama besar saat itu,” kisah Miing.
Miing bergabung, setelah Nanu meninggal dunia dan Rudy Badil tidak ikutan lagi pada setiap pementasan. Miing tidak hanya menjadi asisten, beberapa kali ia terlibat langsung bermain dalam film Warkop.
Di Warkop, ia banyak banyak belajar tentang profesionalitas. Pembagian kerjanya, Dono bertugas dalam hal hubungan pihak luar. Kasino soal bisnisnya, dan Indro sebagai bendahara dan mengatur hubungan kerja sama.
Honor yang diperoleh Miing sebagai asisten sebesar 10 persen dari pendapatan panggung yang diperoleh Warkop. “Saya pernah dapat Rp750 ribu. Berarti honor Warkop tujuh juta setengah. Saat itu uang segitu gede,” ujar Miing.
Tugas Miing, mempersiapkan semua perencanaan pementasan Warkop. Termasuk materi guyonannya. Jika ada pementasan di daerah, tugas Miing yang mencari materi yang tepat untuk daerah tersebut. Sehingga, lawakan Warkop pas dengan situasi yang sedang digandrungi. Dari bahasanya sampai pola tingkah serta budaya daerah yang didatangi.
Selama menjadi asisten Warkop, banyak cerita yang mewarnai kehidupan Miing. “Maklum orang desa,” tuturnya. Tak ayal, sang asisten itu kerap jadi korban. “Saya pernah disuruh bawa setrikaan. Kostum yang mereka kenakan saja, pernah saya yang cuci sampai setrika.”
Setiap pentas di luar kota, Miing selalu sekamar dengan Indro. Dan Dono sekamar dengan Kasino. Selama sekamar dengan Indro, Miing selalu berebutan soal alat pendingin kamar. Indro, kata Miing, selalu menginginkan ruangan dengan pendingin. Sedangkan ia sendiri tak tahan.
“Indro, kan memang berasal dari orang mampu. Nah, gue! Gue kan, orang kampung yang selama hidup nggak pernah kena ruangan pendingin,” ujarnya.
Suatu hari di hotel Surabaya, Jawa Timur, Indro ingin tidur. Ia hanya mengenakan celana dalam dan kaos. AC dinyalakan. Miing tak tahan. Ketika Indro sudah terlihat mendengkur, diam-diam Miing mematikan AC. Ketika hawanya tidak dingin, Miing baru bisa tidur.
Belum lama ia terlelap, Indro terbangun dan diam-diam menyalakan AC lagi. Tak ayal, Miing terbangun dengan badan kedinginan. Begitu seterusnya. “Karena asisten, jadinya mengalah terus deh,” ujarnya.
Cerita lainnya. Ketika pesawat baru mendarat di Surabaya, Miing demam. Kupingnya terasa panas. Dalam kamar hotel, badannya menggigil. Demam tinggi. Selimut tebal menutup tubuhnya.. “Pokoknya, tubuh gue udeh kacau banget. Penyakit sinusitis kambuh lagi.” ujarnya.
Dalam kondisi itu, Indro malah menghilang dari kamar. Miing kaget. Pelan-pelan ia keluar kamar. Dari balkon tangga hotel, ternyata Indro ada di loby hotel. Sedang merokok dan ngobrol dengan pegawai hotel.
Sambil teriak dan tertawa, Indro mengatakan, “Gue takut elu entar mati di kamar. Terus, gue yang yang kena jadi saksinya,” kata Indro kepada Miing. “ Waduh, kalo inget itu, gua jadi ketawa,” ujarnya.
Tentang Dono, ia adalah sosok orang yang serius dan sulit diajak komunikasi. Tapi sekali bicara, ternyata enak. Miing pernah dikerjain oleh Dono. Di Hotel Surabaya, sekitar pukul 09.00, petugas kamar hotel mengetuk pintu kamarnya. Miing membuka pintu. “Ini pesanan asinan dan acar,” kata petugas itu.
Miing kaget. “gile..pagi-pagi siapa yang pesenin asinan ama acar,” pikir Miing bingung. Akhirnya, disantap juga. Tak lama kemudian, telepon hotel berbunyi, terdengar suara Dono dengan mengatakan, “Ing, asinan ama acarnya enak nggak,” ujar Dono sambil tertawa dan menutup telponnya.
“Sialan..nggak tahunya yang pesanin asinan ama acar pagi-pagi si Dono. Gile bener…gue dikerjain disuruh makan asinan ama acar doang…”tutur Miing tertawa mengenang masa itu.
“Kebiasaan Dono selama di daerah apa aja?” Tanya saya.
Dono itu, tutur Miing, punya kebiasaan bangun pagi. “Sebelum yang lainnya bangun, ia tuh, bangun pasti lebih dulu,” ujar miing.
“Ngapain pagi-pagi ia bangun?” Tanya saya.
“Dono selalu jalan pagi menelusuri kampung-kampung di sekitar hotel. Ia selalu membawa kameranya untuk memotret kehidupan sekitarnya. Itu yang selalu Dono lakuin. Pokoknya, kamera nggak pernah ketinggalan,” ujarnya.
“Bagaimana dengan Kasino?” tanya saya.
Kasino, dikenal orang yang cukup care. Ia memperhatikan kebutuhan Warkop. Orang ini yang banyak memberikan saran dan pendapatnya. Ia juga yang pernah mengubah penampilan pakaiannya.
“Kasino pernah nyuruh gue, make jas. Gue, kan nggak biasa kayak gitu. Kasino bilang harus rapi,” tutur Miing. “Ia akhirnya ngasih jas miliknya. Bayangin aja, jas yang terbaik saat itu kan merek Prayudi. Merek ini dulu terkenal. Akhirnya, gue pake deh,” ujarnya, tertawa.
“Eh,..ia juga ngasih gue sepatu kets. Waduh…gue akhirnya pake juga. Gue kan, orang kampung. Istilahnya Tukul, ‘Katrok’,” Miing tertawa lagi.
Selain Miing, saya juga menemui Kiki Fatmala di rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Artis yang pernah menjadi peran pendukung dalam beberapa film Warkop DKI. Kali pertama, gadis seksi ini terlibat dalam film ‘Bisa Naik Bisa Turun’ yang diproduksi tahun 1991. Artis perempuan lainnya, Sally Marcellina.
“Terlibat di Warkop, punya kebanggaan sendiri. Pokoknya, semua artis saat itu selalu membicarakan film mereka. Tidak mudah bisa main di Warkop,” ujar ia.
“Belum lengkap jadi artis, kalau belum main sama Warkop. Bayarannya paling tinggi, nama artis akan mudah melonjak. Cara kerjanya, juga enak.”
Warkop di mata Kiki, kelompok yang gaul dan tidak kaku. Semuanya serba tidak serius. Dari tiga anggota Warkop, yang paling konyol adalah Indro. Sedangkan Dono dan Kasino, lebih banyak serius. Hanya sesekali saja becanda.
“Indro kalau lagi iseng, yang dilihatnya bagian tubuh montok-montok. Apalagi kalau lihat dada,” tutur Kiki. “Tapi ini becandaan aja.”
Kiki berdiri dari bangkunya. Ia menirukan gaya Indro yang mengangkat kedua tangannya sambil didekatkan ke dadanya. “Nah..ini yang montok,” Kiki tertawa. “Kebiasaan kalau istirahat syuting, kami sering main kartu. Pake cemongan muka.”
“Pas sutradara teriak syuting dimulai lagi, kita cuekin aja,” ujar Kiki. “Terus kita bilang aja, Entar…entar…belum selesai nih,” kenangnya. “Pokoknya mereka konyol.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar